Sang Alim yang Syahid Muda
Bagi sebagian orang, ketika pengetahuan seorang anak atau remaja dibandingkan dengan orang dewasa, si anak masih dianggap ‘hijau,’ sementara si orang dewasa disebut memiliki pengetahuan yang lebih darinya. Namun, sejarah mencatat sejumlah orang yang, walau masih kecil, jauh lebih berilmu dari orang dewasa. Alquran sendiri dalam surah Maryam ayat 12 menyatakan, Dan Kami karuniakan pengetahuan kepadanya (Nabi Yahya) saat ia masih bocah.
Salah satu manusia yang dikaruniai ilmu luas saat masih kecil, adalah Imam Muhammad bin Ali as. Beliau adalah imam kesembilan Ahlulbait as. Layaknya seorang imam, beliau memiliki sejumlah gelar yang menyiratkan keutamaannya. Beberapa gelar terkenal beliau adalah At-Taqi (bertakwa) dan Al-Jawad (dermawan). (Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian)
Beliau mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin umat dalam usia yang masih sangat muda, yaitu 8 tahun. Beliau menjadi imam setelah ayahnya, Imam Ridha as, syahid karena diracuni Khalifah Ma’mun.
Kendati masih begitu muda, namun keilmuan Imam Jawad as mengungguli para ulama besar di masanya. Berbagai majlis ilmiah yang diadakan Ma’mun menjadi bukti keluasan ilmu Imam as. Kisah berikut melukiskan kealiman Imam Jawad as.
Suatu hari, Imam Jawad as yang saat itu masih remaja, diundang Ma’mun untuk ‘beradu ilmu’ dengan Yahya bin Aktsam. Yahya adalah fakih dan ulama besar di masa itu. Semua pertanyaan yang diajukan Yahya bin Aktsam dijawab oleh Imam Jawad as, hingga tibalah giliran beliau untuk bertanya kepada sang ulama. (Baca: Mengapa Para Imam Berasal dari Keturunan Al-Husein?)
Imam as berkata,”Jelaskan kepadaku tentang seorang wanita, yang di pagi hari dipandang oleh seorang pria, dan itu adalah pandangan yang haram. Menjelang siang, wanita itu menjadi halal bagi pria itu. Saat duhur, si wanita kembali menjadi haram atasnya. Ketika asar, si wanita kembali halal untuknya.
“Waktu magrib tiba, ia menjadi haram lagi baginya. Saat isya, si wanita kembali dihalalkan atasnya. Dia menjadi haram lagi saat tengah malam, dan saat fajar tiba, ia menjadi halal kembali untuknya. Siapakah wanita ini? Bagaimana ia diharamkan dan dihalalkan berulangkali?”
Yahya bin Aktsam, juga para ulama lain yang hadir, hanya bungkam seribu bahasa. Mereka tak kuasa menjawab pertanyaan dari remaja muda Ahlulbait as tersebut. Mereka menyerah dan meminta Imam Jawad as menjelaskan jawaban pertanyaan itu. (Baca: Kisah-kisah Menarik Imam Jawad a.s. 1)
Imam as lalu berkata,”Wanita ini adalah hamba sahaya milik seseorang. Di pagi hari, pandangan pria nonmuhrim kepadanya adalah pandangan yang haram. Menjelang siang, pria itu membeli wanita tersebut dari pemilik lamanya, sehingga ia menjadi halal untuknya. Saat duhur, ia memerdekakan wanita itu, sehingga ia menjadi haram atasnya. Dia lalu menikahi wanita itu di waktu asar hingga ia kembali halal untuknya.
“Ketika magrib, si pria melakukan dhihar[1] atas wanita itu, sehingga ia menjadi haram. Di waktu isya, si pria membayar denda dhihar, sehingga wanita kembali halal untuknya. Ia lalu menceraikannya saat tengah malam, hingga ia diharamkan atasnya. Kemudian ia rujuk kepadanya saat fajar, sehingga wanita itu kembali dihalalkan baginya.”
Sang imam muda ini mereguk cawan syahadah dalam usia 25 tahun. Beliau syahid pada tanggal 29 Dzulqaidah 220 H setelah diracuni oleh Khalifah Mu’tashim. Sejarah mencatat, yang menghasut Mu’tashim untuk membunuh beliau adalah Abu Duad. Abu Duad adalah salah satu ulama masa itu. Dia geram dan memendam kedengkian terhadap Imam Jawad as, karena ia tak kuasa mengungguli beliau dalam salah satu diskusi ilmiah. (Baca: Nilai-nilai Keagamaan)
Imam Jawad as dimakamkan di kota Baghdad, di sisi makam datuknya, Imam Musa Kadhim as. Sebagaimana makam-makam Aimmah as lain, makam beliau diziarahi kaum muslimin dari berbagai penjuru. Mereka bertawasul dengan beliau agar hajat-hajat mereka dikabulkan Allah Swt.
Salam atas beliau; hari saat ia dilahirkan, saat ia meninggal, dan saat ia dibangkitkan.[*]
Referensi: Sireye Pishvayan.
[1] Dhihar adalah ketika seorang suami berkata kepada istrinya,”Engkau bagiku seperti punggung (dhahr) ibuku (atau saudariku/putriku).” Di masa Jahiliyah, dhihar menyebabkan seorang istri haram selamanya bagi si suami. Namun dalam ajaran Islam, suami pelaku dhihar bisa rujuk kepada istrinya setelah membayar sejumlah kafarah (denda).
Baca: Tahu Tujuan, tapi…